Pemerintah telah menetapkan prinsip pembangunan berkelanjutan yang digunakan dalam RPJMN 2015-2019, yaitu economically feasible, socially acceptable, dan environmentally sustainable. Untuk menerapkan prinsip tersebut, diperlukan prasyarat berupa perbaikan tata kelola pemerintahan, khususnya dalam bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Pembangunan berkelanjutan ini didasarkan pada sinergitas antara basis ekologi, basis ekonomi, dan basis sosial di semua sektor. Hal ini menjadi sangat krusial mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan dengan daerah dataran rendah yang luas sangat rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Kejadian iklim ekstrem seperti banjir dan kekeringan yang telah terjadi, serta potensi efek jangka panjang dari kenaikan permukaan air laut, semakin menegaskan pentingnya penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan secara menyeluruh.
Dengan pertambahan penduduk Indonesia, maka bencana alam yang disebabkan perubahan iklim akan berdampak lebih banyak pada manusia dan mata pencahariannya, sehingga akan lebih sulit untuk bangkit mengurangi kemiskinan. Sebagian masyarakat miskin cenderung tinggal di daerah berisiko tinggi terhadap rawan banjir, tanah longsor, kenaikan permukaan air laut, dan kekurangan air di musim kemarau. Pemerintah Indonesia memandang konsep yang terintegrasi antara mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebagai upaya dalam membangun ketahanan dan pengamanan terhadap banjir, ketersediaan air, dan sumber energi, dan telah melakukan upaya signifikan dalam menyusun dan melaksanakan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) yang terdiri dari kerangka kerja untuk inisiatif adaptasi yang telah diarusutamakan ke dalam Rencana Pembangunan Nasional.
Dengan pemahaman bahwa membangun ketahanan membutuhkan proses yang panjang, biaya adaptasi perubahan iklim Indonesia akan terus bertambah. Oleh karena itu, tujuan adaptasi Indonesia adalah untuk mempertahankan ekonomi masyarakat yang kuat, untuk menjamin keamanan pangan, serta untuk melindungi mata pencaharian dan kesejahteraan rakyat dengan membangun ketahanan ekosistem, ekonomi dan sistem penghidupan. Tindakan adaptasi akan diarahkan untuk pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan kapasitas ketahanan dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim ditentukan oleh indikator - indikator yang mempengaruhi keterpaparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptasi suatu sistem. Ketiga faktor tersebut berubah menurut waktu sejalan dengan dilaksanakannya kegiatan pembangunan dan upaya-upaya adaptasi. Tingkat keterpaparan dan tingkat sensitivitas dapat dicerminkan oleh kondisi biofisik dan lingkungan, serta kondisi sosial-ekonomi.
Untuk mendukung upaya pengurangan resiko dan dampak perubahan iklim tersebut, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim melalui Direktorat Adaptasi perubahan iklim dan didukung oleh United Nations Development Programme (UNDP) mengembangkan Sistem Informasi Indeks dan Data Kerentanan Perubahan Iklim yang menyajikan data dan informasi kerentanan perubahan iklim dengan satuan unit desa di seluruh Indonesia. Saat ini SIDIK memanfaatkan data sosial ekonomi, demografi, geografi, dan infrastruktur dari K/L. Tujuannya adalah untuk menyajikan informasi kerentanan perubahan iklim untuk mendukung kebijakan pembangunan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam upaya perencanaan adaptasi serta pengurangan resiko dan dampak perubahan iklim.
Sistem database SIDIK ini merupakan database yang secara umum memberikan layanan bagi pengguna pusat (K/L) dan daerah. Jenis layanan yang dihasilkan adalah indeks kerentanan dan risiko dampak perubahan iklim yang divisualisasikan ke dalam peta serta ringkasannya, dengan formula secara nasional maupun khas daerah, yang keduanya bisa dimodifikasi oleh pengguna sesuai kewenangannya.