Perubahan iklim merupakan tantangan multidimensional yang menimbulkan dampak bervariasi antar wilayah, tergantung pada karakteristik biofisik, sosial, dan ekonomi masing- masing daerah. Dalam konteks perencanaan adaptasi di tingkat lokal, pemahaman yang mendalam terhadap kerentanan wilayah menjadi hal yang sangat krusial. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan analisis yang tidak hanya bersifat konseptual dan statistik, tetapi juga mampu menangkap dimensi spasial dari kerentanan iklim. Analisis spasial memungkinkan pemetaan detail mengenai persebaran risiko dan kapasitas adaptasi, sehingga pengambilan keputusan kebijakan dapat lebih tepat sasaran dan kontekstual.
Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK) telah mengembangkan model konseptual berbasis indikator untuk menilai kerentanan wilayah terhadap perubahan iklim. Meskipun model tersebut telah mengintegrasikan dimensi sensitivitas, keterpaparan, dan kapasitas adaptif secara matematis, pengolahan data sejauh ini masih didominasi oleh pendekatan berbasis tabular (wilayah administratif). Padahal, dimensi spasial sangat penting dalam mengidentifikasi ketimpangan geografis dalam distribusi fasilitas, populasi rentan, dan akses terhadap layanan dasar. Oleh karena itu, integrasi pendekatan spasial ke dalam kerangka SIDIK menjadi kebutuhan mendesak untuk meningkatkan ketepatan dan kekayaan informasi dari indeks yang dihasilkan.
Analisis spasial berbasis raster menjadi pendekatan yang relevan untuk memetakan kerentanan karena memungkinkan penyajian informasi dalam bentuk grid seragam, yang dapat mengintegrasikan berbagai jenis data dengan resolusi dan sumber berbeda. Dengan menggunakan unit piksel sebagai basis pengukuran, nilai setiap indikator dapat dihitung dan dipetakan secara langsung ke lokasi geografis yang spesifik. Hal ini memungkinkan analisis kerentanan yang lebih presisi dibandingkan pendekatan administratif, yang seringkali menutupi variasi dalam satu wilayah dengan rata-rata global.
Setiap indikator kerentanan dalam SIDIK memiliki karakteristik spasial yang berbeda, sehingga diperlukan penyesuaian dalam unit analisis dan metode rasterisasi yang digunakan. Sebagai contoh, indikator berbasis populasi dapat dikaitkan dengan area permukiman, sedangkan indikator layanan publik seperti akses terhadap fasilitas kesehatan dapat dianalisis menggunakan jarak euclidean dari lokasi fasilitas ke zona permukiman. Dengan pendekatan ini, setiap indikator akan memiliki representasi spasial yang lebih relevan dan informatif dalam konteks kerentanan iklim.
Lebih jauh lagi, penerapan pendekatan spasial dalam SIDIK juga membuka ruang bagi integrasi dengan data spasial lain seperti tutupan lahan, jaringan jalan, dan zona rawan bencana, yang pada akhirnya dapat memperkuat kapasitas analitik sistem secara keseluruhan. Hasil akhir berupa peta indeks kerentanan iklim secara spasial tidak hanya akan memudahkan komunikasi risiko kepada pemangku kepentingan, tetapi juga menjadi alat yang strategis dalam penyusunan rencana adaptasi berbasis lokasi. Pendekatan ini diharapkan dapat memperkuat transformasi SIDIK dari sekadar alat evaluasi statistik menjadi platform geospasial adaptif yang mampu mendukung pembangunan berketahanan iklim di Indonesia.